RSS

Analisis dan Pembahasan Novel Sukreni Gadis Bali



 1.1          LATAR BELAKANG

Karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Ia diciptakan secara sengaja oleh pengarangnya sebagai representasi dari kehidupan nyata. Karya sastra tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Artinya karya sastra pun berkembang sesuai dengan zamannya. Rentang waktu yang amat panjang sejak dulu, sebelum Indonesia merdeka bahkan ketika sistem pemerintahan Indonesia masih berupa kerajaan mencatatkan perjalanan karya sastra dari masa ke masa. Sejarah mencatat perjalanan tersebut sehingga terdapatlah periode-periode dalam karya sastra Indonesia. Periode yang umumnya diketahui adalah periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan 2000-an, dll...

Dalam hal ini, karya sastra yang dianalisis (Sukreni Gadis Bali) merupakan satu dari banyak karya yang tergolong ke dalam angkatan pujangga baru. Umumnya karya sastra pada angkatan ini bertemakan percintaan. Tetapi tentu tidak semata mengandung percintaan tanpa mengindahkan unsur-unsur lainnya. Selain unsur percintaan, terdapat pula unsur budaya, religi, serta didaktis. Sebab karya sastra merangkum zamannya. Ia mengumpulkan fragmen karya dari masa ke masa hingga membentuk sebuah sebutan yang bernama sejarah kesusastraan. Melalui media yang disebut sejarah tersebut, penggolongan terhadap karya sastra berdasarkan zamannya akan dapat dengan mudah dinyatakan.

Sukreni Gadis Bali merupakan karya sastra angkatan pujangga baru yang datang dari pulau Bali. Isinya pun tidak jauh dari menceritakan adat dan budaya Bali. Karena pengarangnya sendiri memang berasal dari Bali. Novel ini banyak mengandung unsur kasih sayang, didaktis, budaya/ adat istiadat, dan religi.

Karya sastra tidak dapat dikupas secara tipis (hanya sampai permukaan), melainkan harus ada pemahaman atau pemikiran yang mendalam dalam mengupasnya. Karena maksud dalam karya sastra seringkali bahkan `memang benar disampaikan dengan bahasa yang tidak denotatif.
 

a.              SINOPSIS NOVEL SUKRENI GADIS BALI KARYA A.A. PANDJI TISNA

Disebutkan Men Negara adalah seorang wanita yang berasal dari Karangasem, dia adalah anak orang kaya. Ia datang ke Buleleng hanya bermodalkan pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia meninggalkan daerah itu karena suatu persoalan dengan suaminya. Pada awalnya Man Negara tinggal menumpang di rumah seorang haji yang mempunyai tanah dan kebun yang luas. Namun, karena Men Negara rajin bekerja dan hemat, ia kemudian dapat memiliki kebun sendiri.

Sebenarnya di Karangasem Man Negeri memiliki seorang anak yang ia tinggalkan. Di tempat barunya ia melahirkan dua orang anak bernama I Negeri dan Ni Negari yang berparas cantik itu dapat menarik para pekerja pemetik kelapa untuk singgal di warungya. Disamping itu, Men Negara pun pandai memasak sehingga masakannya selalu disukai oleh para pekerja itu. Di antara mereka yang datang ke warung Men Negara adalah I Gde Swamba, seorang pemilik kebun kelapa itu. I Nagari yang jatuh hati kepada I Gde Swamba berharap jika suatu saat nanti bisa menikah dengan pria itu.

Suatu hari datanglah seorang pria bernama I Gusti Made Tusan dia adalah seorang menteri polisi. ia disegani dan ditakuti penduduk. Banyak sudah kejahatan yang berhasil ditumpasnya. Ini berkat kerjasamanya dengan seorang mata-mata bernama I Made Aseman.

Suatu hari Men Negara ketahuan oleh I Made Aseman telah menyembelih seekor babi dan dilaporkan kepada I Gusti Made Tusan. I Made Aseman berharap kalau Man Negeri ditangkap dan di adili agar kedai iparnya dapat laku dan mengalahkan kedai Men Negara. Namun, hal itu tidak terjadi karena I Gusti Made Tusan melihat Ni Negari dan terpikat oleh tutur kata dan senyum Ni Negeri.

Suatu hari datanglah seorang gadis bernama Luh Sukreni ke kedai Men Negara untuk mencari I Gde Swamba untuk urusan sengketa warisan dengan kakaknya, I Sangia yang telah masuk agama kristen. Menurut adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih agama lain, baginya tak ada hak untuk menerima harta warisan.

Kedatangan Luh Sukreni membuat Men Negara dan Ni Negari cemburu dan iri hati. Menteri polisi itu tampak tertarik pada Sukreni dan berniat menjadikan Ni Sukrenis sebagai wanita simpanannya, mengetahui hal itu Men Negara mendapatkan siasat jahat. Suatu hari ketika Luh Sukreni datang lagi Men Negara dan Ni Negari menerimanya dengan ramah, bahkan mengajaknya untuk menginap dan di terima oleh luh Sukreni. Saat itulah Men Negara menjalankan siasat jahatnya. Pada malam harinya, Luh Sukreni diperkosa oleh I Gusti Made Tusan. “Terima kasih Men Negara, atas pertolonganmu itu, hampir-hampir tak berhasil tetapi…”. Begitulah I Gusti Made Tusan menyatakan kesenangannya atas siasat busuk Men Negara. Sejak kejadian itu Luh Sukreni pergi entah kemana.

Namun betapa terkejutnya Men Negara ketika dia mengetahui kenyataan sebenarnya bahwa Luh Sukreni itu adalah anak kandungnya. I Sudiana teman seperjalanan Luh Sukreni, mengatakan bahwa Ni Sukreni adalah anak kandung Men Negara sendiri. Ayah Ni Sukreni, I Nyoman Raka telah mengganti nama Men Widi menjadi Ni Sukreni. Perubahan nama itu dimaksudkan agar Ni Sukreni tak dapat diketahui lagi oleh ibunya. Mengetahui hal itu membuat Man Negara sangat menyesali perbuatannya.

Sukreni tidak kembali ke kampungnya karena dia merasa malu dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia mengembara entah kemana. Namun, Pan Gumiarning, salah seorang sahabat ayahnya, mau menerima Ni Sukreni untuk tinggal di rumahnya. Tak lama kemudian. Ni Sukreni melahirkan seorang anak dari hasil perbuatan jahat I Gusti Made Tusan. Anak itu diberi nama I Gustam.

Tidak disangka takdir mempertemukan kembali Sukreni dengan I Gde Swamba, pertemuan itu berkat pertolongan I Made Aseman yang pada waktu itu sedang menjalani hukuman di Singaraja. I Gde Swamba berjanji akan membiayai kehidupan I Gustam meski anak itu bukan anak kandungnya.

I Gustam tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki perangai dan tabiat kasar, bahkan dia berani memukul ibunya. Setelah dewasa, ia mencuri sampai akhirnya masuk tahanan polisi. Didalam tahanan, I Gustam justru banyak memperoleh pelajaran cara merampok dari I Sintung, salah seorang perampok dan penjahat berat yang sudah terkenal keganasannya, ahli dalam hal perampokan dan kejahatan.

Setelah dirinya bebas dari penjara I Gustam membentuk sebuah kelompok dan I Sintung menjadi anak buahnya. Pada suatu malam, kelompok yang dikepalai I Gustam melaksanakan aksi perampokan di warung Men Negara. Namun rencana itu sudah diketahui oleh aparat keamanan. Perampokan di Men Negara mendapat perlawanan dari polisi yang dipimpin oleh I Gusti Made Tusan. I Gusti Made Tusan sendiri tidak mengenal bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah anaknya sendiri. Maka ketika I Gustam hampir putus asa karena terkena kelewang ayahnya, I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya sendiri, setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak itupun tersungkur dan mati!. Sementara itu Men Negara berubah menjadi orang gila yang berkeliaran di kampung dan kedainya.

b.             RIWAYAT HIDUP A.A. PANDJI TISNA

Anak Agung Pandji Tisna lahir di Singaraja, 11 februari 1908. Meninggal pada tanggal 2 Juni 1978, di Lovina Beach. Beliau menempuh pendidikan di HIS Singaraja, Mulo Batavia, belajar bahasa Inggris di Surabaya. Pada tahun 1925 ia menjadi pedagang kopra.
1935 membuka sekolah rendah berbahasa Belanda De Sisya Pura School, menjadi guru bahasa Inggris di sekolah Pertiwi Putra, mengarang lagu dan menjadi pemain biola pada sebuah orkes komedi Stambul, tetapi berhenti karena menginsafi bahaya pada moral dari profesi tersebut. Pindah ke kebun kelapa milik ayahnya di tepi pantai yang sekarang disebut Lovina Beach. Sewaktu ingin ke Wina, di Singapura penyakit matanya kambuh sehingga menyebabkan matanya buta.
1973 menjadi pemimpin redaksi Majalah Jatayu ang disebut perkumpulan Bali Dharma Laksana.
1944 sebagai anak tertua menggantikan ayahnya, A.A. Putu Djlantik, yang meninggal dunia, menjadi raja Buleleng.
1945 dipilih menjadi ketua raja-raja seluruh Bali
1946 beralih agama menajdi Kristen
1947 berhenti sebagai raja Buleleng, digantikan oleh adiknya, A.A. ng. K. Djlantik, S.H., di tahun ini pula beliau mendirikan SMP Bhaktiyasa, perpustakaan umum, dan bioskop
1950 menjadi anggota DPR-RIS Jakarta dan tahun itu menjadi anggota DPR_RI (Kesatuan)
1954 memuat film Sukreni atas usahanya sendiri
1963 mendirikan gereja di Bukit Seraya

Karya-karya yang Pernah Ditulisnya:

Ni Rawit Centi Penjual Orang (Balai Pustaka, 1935)
Sukreni Gadis Bali (Balai Pustaka, 1936)
Dewi Karuna (1939)
I Made Widiadi (1955)
Ia digolongkan sebagai sastrawan angkatan pujangga baru sejak ia menulis beberapa puisi yang salah satu di antaranya adalah “Ni Putri” pada majalah Pujangga Baru.

c.              TEMA
Tema yang diangkat dalam novel Sukreni Gadis Bali adalah perempuan dan hukum karma. Sosok yang lebih diangkat dalam novel ini adalah perempuan. Perempuan-perempuan Bali pada masa itu masih dipandang amat  rendah terutama oleh kalangan bangsawan. Para perempuan Bali pada masa itu lebih sering dianggap sebagai pemuas nafsu semata, terlebih bila dirinya berparas cantik.

d.             UNSUR RELIGI

Unsur agama yang disajikan dalam novel ini lebih menitikberatkan pada hukum karma yang didapat oleh manusia atas segala perbuatannya. Segala perbuatan manusia yang baik atau yang buruk akan mendapat balasan dari Tuhan. Bagi kepercayaan masyarakat Bali yang berperan dalam memberi balasan atas apa yang manusia lakukan adalah Hyang Widi Wasa.
Unsur keagamaan dalam hal ini hukum karma amat terasa dalam novel Sukreni Gadis Bali ini. Bahkan sang penulis, A. A. Pandji Tisna seakan menyajikannya secara beruntun dalam novel ini
-                 Bermula dari Men Negara yang pergi dari rumah meninggalkan suami dan anaknya. Atas apa yang dirinya perbuat membuat hidupnya mengalami kesulitan secara ekonomi.
-                 Men Negara yang bersekongkol dengan I Gusti Made Tusan demi harta. Berdampak pada hamilnya Sukreni. Namun ternyata Sukreni merupakan anak dari Men Negara sendiri yang dahulu ia tinggalkan.. Atas perbuatannya Men Negara menjadi gila.
-                 Hamilnya Sukreni membuat dirinya malu kembali ke desa. Kemudian dia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama I Gustam. Namun sayang, perilaku anaknya tersebut jauh dari kata baik.
-                 I Gustam malah menjadi seorang yang jahat, bahkan hendak merampok kedai Men Negara. Sayang apa yang direncanakan tidak berhasil dan harus berakhir di tangan I Gusti Made Tusan yang merupakan ayahnya sendiri.
-                  I Gusti Made Tusan baru mengetahui bahwa yang terbunuh itu adalah anaknya sendiri, setelah ia mendengar teriakan I Made Aseman. Akhirnya ayah dan anak itupun tersungkur dan mati

e.              UNSUR DIDAKTIS
Dalam novel Sukreni Gadis Bali ini terdapat beberapa aspek yang memang memengaruhi kehidupan manusia setiap harinya, baik dari adat istiadat suatu desa maupun didikan yang membuat adat istiadat itu ada. Dalam novel Sukreni Gadis Bali ini tidak secara spesifik menceritakan Sukreni yang merupakan judul bukunya sendiri melainkan dalam cerita novel ini lebih banyak menceritakan peranan moral seorang ibu yang dalam menjaga kehormatan anaknya dan dirinya sendiri. Men Negara, seorang tokoh dalam novel tersebut yang kentara sikap dan sifatnya serakah. Ia terlalu tamak akan kekuasaan dan harta benda yang membuat ia lupa bahwa ia mempunyai seorang anak.
Dalam novel ini juga terdapat pesan moral terhadap pembaca yang apabila diklasifikasikan sebagai berikut:
a.              Pendidikan Moral Seorang Ibu

Pendidikan Moral adalah sebuah ajaran tentang baik buruknya suatu perbuatan yang diterima oleh seseorang. Apabila dikaitkan dengan cerita dalam novel ada kaitannya seperti pendidikan yang ibu berikan kepada anaknya. Melihat Men Negara membesarkan anaknya Ni Negari dengan cara yang kurang berpendidikan yang membuat Ni Negari bergaul dengan laki-laki yang kebanyakan hanya menikmati kecantikan saja. Sebagai seorang ibu seharusnya tidak menjual anaknya sendiri demi harta kekayaan sendiri seperti perckapan antara Men Negara dan Gusti Made Tusan, “...baik begitu, bukan? Dengan jalan demikian tidak kentara, bahwa engkau sudah tahu niat anakmu hendak lari. Berapa kau katakan mas kawinnya? Seratus lima puluh ribu? Baik, nanti kubayar uang itu, tunai”, (1986: 52). Dari perkataan Gusti Made Tusan sudah tersiratkan bahwa seorang anak gadis secara tidak langsung diperdagangkan oleh ibunya sendiri untuk menyejahterakan kehidupan pribadinya.

Dalam novel ini disebutkan bahwa Sukreni adalah anak dari Men Negara dari suami pertamanya. Menanggapi permasalahan ini, Men Negara tidak terlalu khawatir meskipun ia telah membuat hancur kehidupan anaknya sendiri karena yang ada dalam pikirannya hanyalah harta dan uang. Bahkan sampai akhirnya rumah, kedai, dan hartanya lenyap terbakar Men Negara tetap merasa tidak bersalah pada anaknya. Sampai pada penghujung cerita Men Negara gila karena kehilangan kekayaannya bukan gila karena kehilangan anaknya yang ia buat menderita.

b.             Pergaulan yang Tidak Sehat

Berbicara tentang pergaulan dalam tersebut pun memang terbilang pergaulan antarremaja terlalu dibebaskan tanpa pantauan orang tua. Ni Negari adalah korban dari pergaulan yang membuat ia tega berbuat jahat pada Sukreni karena iri hati pada kecantikannya. Pembentukan karakter Ni Negari adalah didikan dari ibunya yang ia terima dan ia tahu betul akan batas kecantikannya. Karena orang lain yang menilai bukan dirinya sendiri. Pujian dari orang-orang yang membuat Ni Negari tegap menghadapi para laki-laki muda yang mendatanginya. Meskipun dari interaksi pergaulan Ni Negari tidak pantas berlaku seperti itu mengingat usianya yang masih sangat belia.

Pergaulan antara anak dan ibu pun bagaikan majikan dan pegawainya. Sampai-sampai anak seperti sapi perah bagi ibunya. Meskipun seperti itu, novel ini tetap mempunyai kaitan sebab akibat yang terlihat dari awal. Kesalahan dari seorang ibu yang harus dibayar oleh seorang anak  dan begitupun sebaliknya seperti Men Negara dan Sukreni dan Sukreni dan anaknya, Gustam. Pergaulan seorang ibu yang menyalahgunakan statusnya sebagai ibu yang membuat ia salah melihat orang baik yang ada dihadapannya.

Pada intinya, novel ini mengajarkan tentang kebaikan. Karena memperlihatkan baik dan buruk, baik menjadi seorang anak maupun menjadi ibu. Pendidikan yang salah akan membuahkan hasil yang tidak baik. Peranan seorang ibu bukan hanya sebagai seorang guru saja, akan tetapi harus menjadi seorang teman bagi anak agar anak tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk atau memiliki sifat yang buruk. Maka dari itu, sebagai manusia jangan pernah mendewakan harta kekayaan yang sifatnya hanya sementara.

f.               UNSUR BUDAYA LOKAL/ ADAT ISTIADAT
Setiap karya sastra selalu mencerminkan kehidupan yang telah dialami oleh setiap pengarang atau penulis. Baik itu pendidikan, situasi sosial, adat dan kebudayaan, pengalaman pribadi, dan lain sebagainya. Menurut Grebsitein (1968), karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis atau menunjukan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.

Begitu pula dalam novel Karya A.A. Pandji Tisna yang berjudul Sukreni Gadis Bali. Dalam novelnya A.A. Pandji Tisna memasukkan beberapa adat istiadat masyarakat Bali pada zaman dulu. Selain unsur budaya A.A. Pandji Tisna juga menggambarkan kondisi sosial.

A.A. Pandji Tisna menggambarkan kondisi sosial di masyarakat Bali ketika itu adalah masyarakat yang kejam dan keras. Persaingan yang sangat keras itu membuat tokoh Men Negari melakukan atau menghalalkan segala cara agar apa yang diinginkannya tercapai.

Sementara dalam unsur adat istiadat yang dimasukkan atau dituangkan oleh A.A. Pandji Tisna di antaranya adalah dilarang menyembelih hewan seperti babi, sapi, dan kerbau tanpa ijin. Seperti dalam kutipan berikut: “Men Negara kedapatan sedang menyembelih babi, Ratu,”, (1986: 25) kata Made Aseman. Dan, “...Tentu babi itu engkau potong dengan tidak minta surat keterangan dahulu Men Nagara?”, (1986: 26) kata menteri polisi dengan suara yang menakutkan.

Selain hal itu adat istiadat lainnya yang dituangkan adalah menurut adat dan agama Bali, jika seorang anak beralih ke agama lain, baginya tak ada hak untuk menerima harta warisan. Berikut kutipan dalam novel: “Bahwa Petrus Sudana, saudara hamba, tidak boleh menerima waris orang tua, jadi waris orang tua hamba. Sebabnya pertama karena yang meninggalkan waris iru belum diaben, dan karena itu ahli waris belum boleh membagi-bagikan pusakanya. Kedua, karena Petrus Sudana menjadi Kristen, sudah meninggalkan agamanya yang asli.” (1986: 45)

g.              UNSUR KASIH SAYANG/ KEMANUSIAAN

Novel Sukreni Gadis Bali  yaitu novel karangan A.A. Pandi Tisna. Novel ini menceritakan kehidupan  pada saat lampau wanita Bali berada dalam derajat yang rendah, sehingga dapat dipermainkan orang, terutama oleh kaum bangsawan hidung belang. Dulu khususnya di Bali, dan tidak lepas akan nilai strata sosial yang ada, saat itu.
pada bagian pertama cerita tersebut, menceritakan situasi masyarakat dan kedai milik seorang wanita bernama Men Negara yang digambarkan sebagai wanita yang tidak baik dan sangat mendambakan harta dan kekayaan dengan jalan tidak jujur. Karena daya tarik putrinya yang hitam manis warung tersebut menjadi ramai dikunjungi para pemuda yang menaksirnya. Pada suatu hari Men Negara kedatangan tamu bernama Sukreni yang disertai pengantarnya. Sukreni  datang ke kedai tersebut mencari seseorang bernama I da Gde Swamba, seorang pemuda  pengawas kebun kelapa, Sukreni adalah seorang gadis yang digambarkan sangat cantik.
Ni Luh Sukreni adalah seorang gadis berparas cantik. Dia adalah anak yang dijebak dalam permainan ibunya, Men Negara. Men Negara tidak mengetahui bahwa gadis yang ia jebak adalah putri kandung hasil pernikahan dengan suami pertamanya , I Nyoman Raka. Kasih sayang seorang ibu kepada ananknya sungguh tidak ada di dalam novel Sukreni Gadis Bali, Ibu yang seharusnya melindungi anaknya dan menjadi tempat perlindungan untuk anaknya, tapi, di sini ibunya sendirilah yang menjadikan sukreni yang menderita, akibar harta yang diinginkan oleh ibu kandungnya. Ibu sendirinya yang menjadi awal penderitan dari sukreni putri kandungnya sendiri.  Men Negara yang tidak mengetahui bahwa gadis yang telah ia celakai adalah anak kandungnya sendiri.  Ni Luh sukreni dulu bernama Ni Widi yang kemudian diganti oleh bapaknya.Walaupun I Negara merasa bahagia dengan adanya kabar itu, namun Men Negara sangat terkejut dan menyesal. Sukreni melarikan diri entah kemana. Ada sebuah penyesalan yang Men Negara rasakan pada batin.
Sukreni yang pada awalnya ia mencari Ida Gde Swamba, Sukreni dan Ida Gde Swamba yang saling menyukai. ketika Ida Gde Swamba yang sangat mencintainya sukreni  menjadi sedih karena mendengar berita tersebut. Berbulan-bulan Ida Gde berusaha mencari sukreni. Suatu ketika Ida Gde bertemu dengan I Aseman, mata-mata menteri polisi  bejat itu. Dari I Aseman ia mendapatkan informasi tentang sukreni yang tinggal di rumah saudaranya. Ketika  Ida Gde Swamba datang sukreni baru saja melahirkan anak hasil perbuatan keji I Made Tusan yang diberi nama I Gustam. Karena ketulusan cinta Ida Gde, ia berniat untuk menanggung biaya hidup sukreni dan anaknya. Seperti pada kutipan tersebut : “ apa jua yang kautangiskan, Sukreni? Anak itu tidak bersalah sedikit jua, sama dengan engkau. Sebab itu dia harus dikasihi, sebagai engkau jua,” kata ida sambil mengurut-urut rambut perempuan itu.” (1986: 91)
Dari kutipan di atas sangat tergambarkan jelas bahwa Ida Gde mencintai sukreni apa adanya dan sangat tulus mencintai gadis tersebut, walaupun Sukreni sudah diperkosa oleh ayahnya sendiri. Cinta yang tulus tidak akan memandang dari sisi luarnya, seperti Ida Gde yang menerima keadaan Sukreni apa adanya.
Setiap perbuatan yang telah dilakukan pasti akan ada resikonya, termasuk kepada Men Negara. Semua yang jahat dan bersalah mendapatkan hukuman dari Hyang Widi Wasa. Men Negara yang merasa berdosa karena ternyata Sukreni yang dicelakakannya adalah anaknya sendiri dimana masa silam ditinggalkannya di kampung halamannya, akhirnya Men Negara menjadi gila.  Semua perbuatan akan di balaskan oleh hyang Widi tanpa kita melakukan, Hyang Widi (tuhan) yang akan membalasnya. Tuhan sangat sayang pada umat-Nya, seperti pada Men Negara. Seperti pada kutipan di bawah ini.
Di bawah pohon kelapa kelihatan Men Negara dan NI negari serta keluarganya yang lain-lain duduk merenungi api yang telah hampir padam. Ketika itu terasa oleh mereka itu, bahwa mereka telah kena hukuman Widi. Tuhannya. Terbayang di mata Men Negara rupa Ni Luh Sukreni, anaknya. Yang telah dicelakannya. Asap yang mengepul naik dari unggunan bara rumahnya dan hartan bendanya itu, tampak gelak sebagai orang melambai-lambai dia sambil tertawa gelak dan menyeringi dengan dahsyatnya.” (1986: 106)

“Men Negara memekik, berlari, lalu jatuh terguling-tak ingat kagi akan dirinya.”
(1986: 106)

h.             PENGGUNAAN BAHASA
Sukreni Gadis Bali merupakan salah satu dari beberapa novel yang dikarang oleh A.A. Pandji Tisna. Novel ini telah mengalami berulang kali pencetakan sejak pencetakan pertamanya pada tahun 1936. Sukreni Gadis Bali sendiri merupakan karya A.A. Pandji Tisna yang kedua setelah karyanya yang berjudul Ni Rawit Centi Penjual Orang yang lebih dulu tercetak pada tahun 1935 oleh Balai Pustaka (satu tahun sebelum novel keduanya dicetak).
Berdasarkan tahun cetakan pertamanya yang dicetak pada tahun sebelum kemerdekaan Indonesia dan sebelum penetapan EYD, penulisan novel ini pun tentu menggunakan ejaan lama. Hanya saja dalam pencetakan ulangnya, gaya bahasa tentunya menyesuaikan dengan keadaan zamannya.
Pada penganalisisan gaya bahasa dalam novel Sukreni Gadis Bali kali ini menggunakan novel yang telah dicetak ulang untuk ke-26 kalinya (2013). Gaya bahasanya agaknya tidak terlalu banyak diubah, hanya saja dalam penggunaan EYD, tulisan dalam novel sudah menggunakan ejaan yang telah disempurnakan; tidak lagi menggunakan ejaan lama.
Penggunaan bahasa yang terdapat di dalam novel cenderung mengulang kata. Di antaranya terdapat dalam petikan, “kadang-kadang air hujan bagai bendungan di sebelah-menyebelah atau di tengah jalan...” (2013:1), yang tersurat ketika bagian awal cerita menjelaskan latar tempat cerita tersebut. Kemudian “engkau bangkit-bangkit pula”, (2013: 68), jawaban yang diutarakan Men Negara kepada I Negara ketika I Negara menanyakan masa lalu Men Negara. Lalu ada pula kalimat, “duduk tiga orang dengan bersembunyi di balik pohon-pohonan”, (2013: 97), bagian kalimat ini untuk mengungkapkan rencana pencurian I Gustam dan kawan-kawannya. Kemudian kata-kata lainnya seperti “tinju-meninju, dorong-mendorong, luas-luas, tiap-tiap” pun terdapat dalam novel Sukreni Gadis Bali ini.
Penggunaan kata juga bergantung pada latar belakang budaya dalam cerita. Sukreni Gadis Bali merupakan sebuah karya yang diciptakan oleh orang Bali dengan latar tempat, waktu, dan suasana Bali yang terbilang kental. Oleh karena itu, penggunaan bahasa pun ikut terpengaruh dari latar belakang tersebut. Contoh penggunaan kata atau bahasa yang menunjukkan latar belakang kebudayaan Bali tersebut adalah, “kelian (kepala kampung)” (2013: 4), “sanghiang surya (matahari)” (2013: 5), “bayuan (tuak yang telah bermalam –didiamkan semalaman)” (2013: 7), dll... seperti gerubug (penyekit sampar), bersanteng (kemban kain dada), Widi (Tuhan orang Bali), diaben (dibakar dengan upacara), dsb...
Penggunaan gaya bahasa juga dapat dikaitkan dengan cara penceritaan A.A. Pandji Tisna dalam novel. Salah satu contohnya adalah penjelasan mengenai identitas Men Negara yang baru dieksplisitkan setelah cerita maju (bukan di awal cerita). Pengeksplisitan itu terdapat dalam kalimat, “Men Negara berasal dari Karangasem, anak seorang kaya di negerinya. Ia datang ke Buleleng hanya dengan pakaian yang lekat pada badannya saja...”, (2013: 7) kurang lebih satu paragraf itu mengungkapkan siapa Men Negara dan bagaimana latar belakangnya hingga ia dapat diceritakan sebagai seorang Ibu pada bagian awal cerita.
Sebagai penegasan bahwa gaya bahasa yang digunakan masih menggunakan gaya bahasa EYTD, berikut merupakan sebuah paragraf dalam novel Sukreni Gadis Bali:
“Hari masih amat pagi. Jalan kecil itu sebagai sungai rupanya, karena malam hari turun hujan dengan lebatnya. Oleh karena itu tak ada yang lalu di situ, sepi. Pohon kelapa sebagai kedinginan rupanya, serta batangnya masih basah karena air hujan itu. Walaupun demikian, asap kedai itu mengepul jua ke udara, dan Men Negara memanggil-manggil dengan sibuknya. Seorang dua orang tampak masuk dari pintu bambu itu, hendak minum kopi.” (2013: 2)
Di antara banyak penggunaan gaya bahasa lama, salah satunya adalah penggunaan kata “sebagai” yang diartikan sama dengan “seperti.” 


SIMPULAN
 
1.              Tema Sukreni Gadis Bali adalah perermpuan dan hukum karma.
2.              Unsur religi yang terdapat dalam novel ini adalah lebih mengarah pada adanya hukum karma.
3.           Unsur didaktis dalam novel ini terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan moral seorang Ibu dan pergaulan yang tidak sehat.
4.              Unsur budaya lokal/ adat istiadat dalam novel ini di antaranya mengenai budaya dan adat istiadat Bali, misalnya dalam hal pelarangan penyembelihan babi tanpa izin dan apabila seseorang meninggalkan agamanya atau berpindah agama, maka orang itu tidak akan mendapatkan hak waris.
5.              Unsur kasih sayang/ kemanusiaan dalam novel ini menyangkut cinta yang tulus tidak melihat dari bagaimana masa lalu orang yang dicintai, melainkan kesediaan untuk menerima pasangan apa adanya.
6.              Penggunaan bahasa dalam novel ini cenderung menggunakan gaya bahasa lama, namun ejaannya telah disempurnakan.

 Sumber: Makalah Analisis Novel Sukreni Gadis Bali


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

1. Berkomentarlah menggunakan kata yang sopan dan halus
2. Dilarang SPAM!!!
3. Komentar dilarang mengandung SARA!!!
4. Dilarang menghina atau mengejek individu atau kelompok tertentu